wayansudane.net

May 2, 2007

Perihal Sertifikasi Halal

“Sehat” adalah kategori yang relevan untuk seluruh masyarakat Indonesia, baik Muslim atau non-Muslim. Sementara kategori “halal” hanyalah relevan secara terbatas untuk umat Islam saja. Tugas pemerintah sebagai institusi yang menaungi semua kelompok umat beragama hanyalah menjamin status kesehatan makanan. Sementara masalah halal dan haram adalah urusan dapur umat Islam sendiri.

Din Syamsuddin, Wakil Ketua Umum MUI, baru-baru ini menyatakan bahwa dari sekitar 100 ribu produk makanan, obat dan kosmetik yang beredar di pasaran Indonesia, hanya 84% yang mempunyai sertifikat halal. Selebihnya masih abu-abu. Karena itu dia mendesak pemerintah agar mengambil langkah yang serius untuk mengatasi masalah ini. Dia mengatakan bahwa sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim sudah semestinya pemerintah memperhatikan dengan sungguh-sungguh masalah halal dan haram ini.

Pernyataan Din itu memperlihatkan dengan jelas bahwa MUI, lembaga di mana dia duduk sebagai tokoh yang cukup penting di sana, menghendaki agar seluruh makanan, obat-obatan, dan kosmetik yang dijual di pasar Indonesia harus mempunyai sertifikat halal.

Komentar Din ini patut kita pikirkan masak-masak sebab mengandung asumsi dan implikasi yang harus diuji ketepatannya. Pertanyaan pertama yang langsung muncul adalah: apakah makanan dan obat-obatan yang menurut kepercayaan umat Islam dianggap haram tidak boleh diperjual-belikan di pasar? Apakah daging binatang yang jelas-jelas haram, seperti babi, tidak boleh diperjual-belikan?

Umat Islam tentu memiliki hak sepenuhnya untuk menikmati produk halal sebagai konsekwensi dari kepercayaan yang dianutnya. Tetapi pada akhirnya, masalah halal dan haram adalah kepercayaan umat Islam, bukan kepercayaan seluruh penduduk Indonesia. Meskipun umat Islam adalah penduduk mayoritas, tetapi jelas bahwa Indonesia bukanlah sebuah negeri yang hanya dihuni oleh masyarakat Islam. Indonesia adalah negara yang dimiliki oleh semua kelompok negara.

Masyarakat Muslim harus bisa membedakan antara dua kategori: “sehat” dan “halal”. “Sehat” adalah kategori yang relevan untuk seluruh masyarakat Indonesia, baik Muslim atau non-Muslim. Sementara kategori “halal” hanyalah relevan secara terbatas untuk umat Islam saja. Tugas pemerintah sebagai institusi yang menaungi semua kelompok umat beragama hanyalah menjamin status kesehatan makanan. Sementara masalah halal dan haram adalah urusan dapur umat Islam sendiri.

Adalah sama sekali tidak fair jika, misalnya, seorang pengusaha yang bukan Muslim diharuskan oleh pemerintah untuk mencantumkan label halal, sebab itu bukan merupakan bagian dari kepercayaan dia. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menghukum suatu perusahaan yang menjual produk makanan yang secara higinis mengancam kesehatan konsumen, sebab aspek higinis suatu produk makanan adalah common denominator yang menyamakan seluruh konsumen dari agama apapun. Tetapi pemerintah tidak bisa diminta oleh umat Islam untuk mewajibkan perusahaan mencantumkan label halal, sebab itu hanyalah masalah internal umat Islam sendiri. Paling jauh, perusahaan hanya bisa diminta mencantumkan daftar seluruh bahan (ingredients) suatu produk makanan. Tetapi meminta mereka mencantumkan label halal adalah berlebihan dan tidak tepat dalam kerangka negara plural seperti Indonesia.

Setelah melihat daftar bahan-bahan itu, keputusan diserahkan sepenuhnya kepada konsumen Muslim sendiri: dia boleh beli, boleh tidak. Dalam Islam, seorang Muslim tidak bisa dikenai hukuman apapun karena membeli makanan yang haram. Soal dosa, itu adalah urusan yang bersangkutan. Tetapi, dari segi hukum publik, seseorang tak bisa dihukum karena membeli makanan yang haram. Sementara itu, pemerintah juga tidak bisa mewajibkan semua perusahaan hanya menjual produk yang halal saja. Bahkan dalam hukum Islam sendiri tak dikenal aturan “aneh” semacam ini.

Jika suatu perusahaan ingin menjaring konsumen Muslim lalu dengan sukarela mencantumkan label halal, hal itu adalah hak yang bersangkutan. Tetapi jika pencantuman itu diharuskan oleh negara seperti naga-naganya dikehendaki oleh MUI, maka itu jelas tidak tepat. Langkah yang paling tepat dilakukan oleh masyarakat Islam adalah melakukan kampanye untuk konsumen Muslim agar mengonsumsi produk halal. Jika umat Islam terbujuk oleh kampanye itu, lalu terbentuk pasar “produk halal” yang cukup besar, dan kemudian memaksa perusahaan secara sukarela mencantumkan label halal dengan sendirinya, maka itulah proses demokratis dan “alamiah” yang wajar.

Dengan kata lain, langkah paling tepat untuk umat Islam adalah menggerakkan isu label halal ini sebagai isu masyarakat sipil, bukan meminta pemerintah ikut turun tangan memaksakan label itu. Langkah yang ditempuh oleh MUI saat ini, menurut saya, sama sekali kurang tepat dan tidak sesuai dengan kerangka negara demokrasi yang kita anut saat ini.

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1244

No comments: